Oleh Handoko Adinugroho
Aku selalu bisa bernafas lega jika sudah sampai di depan pintu rumah. Lebih terasa lega lagi jika sudah melihat putriku yang belum genap lima tahun usianya. Ia selalu saja bisa mengubah segala kelelahanku menjadi sebuah kekuatan baru.
Aku merasa sangat damai jika mendekapnya. Kekecewaan, luka, muak terhadap tujuh lelaki yang setiap hari selalu menjemputku seketika sirna, berganti menjadi sebuah ketabahan. Bocah perempuan itu telah mengirimkan kesabaran ke dalam jiwaku.
“Belum selesai pemeriksaannya?” ibu selalu terlihat cemas setiap kali aku tiba di rumah. “Saya tidak tahu, Bu.” “Berapa lama lagi mereka akan memperlakukanmu seperti itu?” Aku menggeleng. “Saya juga tidak tahu, Bu. Barangkali sampai mereka puas.” “Puas! Puas! Kepuasan seperti apa yang mereka inginkan?” ibu kandung suamiku itu selalu menggerutu setiap kali mengingat mereka.
Memang, selama ini – setidaknya juga hingga saat ini – mereka tak pernah menyakitiku. Ucapan mereka pun tak pernah melukaiku. Bahkan mereka selalu mengucapkan “maaf” setiap kali hendak menutup mataku. Namun tetap saja aku tak bisa menerima mereka – apalagi memperlakukan mereka – sebagai kawan. Sebab mereka memang bukan sahabatku. Bahkan mengenal mereka pun tidak.
Mereka hanya tujuh orang lelaki yang selalu datang ke rumahku setiap hari dan membawaku pergi tanpa pernah bisa kutolak. Mereka selalu membawaku ke ruangan itu, mengajak melihat peristiwa yang serupa, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah berbeda dan kemudian membawaku pulang tanpa mengurangi sedikit pun yang kubawa.
Pertama kali mereka datang, tiga belas hari yang lalu. Saat itu masih pagi. Aku baru saja selesai memandikan putriku dan sedang sibuk di dapur. Aku bahkan tak tahu kedatangan mereka. Ibu yang memberitahu ada orang yang mencariku. Ketika kutengok, ternyata ada tujuh orang lelaki yang berperawakan tinggi besar. Pakaian mereka sangat rapi. Salah seorang di antara mereka – yang kemudian selalu menjadi penanyaku – maju mendekat.
“Mohon ikut kami sekarang,” katanya tegas. “Ikut kemana? Ada apa ini?” aku tak mengerti. “Nanti kami jelaskan setibanya di tempat.” “Tapi saya mau belanja,” dalihku. “Maaf, ini tidak bisa ditunda. Kami minta Anda ikut kami sekarang juga.”
Lantas dua orang mendekat dan menggandengku. Ibu mertua yang sudah kuanggap layaknya ibu kandungku terlihat cemas. Ia segera mendekap putriku, cucunya. Aneh, putriku sama sekali tak menangis melihat ibunya dibawa orang-orang yang tak dikenal. Bahkan ia sempat mengangguk sambil tersenyum, seolah ingin memberikan tambahan kekuatan kepadaku, kepada ibunya.
Sepanjang perjalanan menuju ke mulut gang, para tetangga melihatku dengan wajah penuh tanda tanya. Beberapa di antaranya kulihat saling berbisik satu sama lain. Aku tak tahu apa yang mereka bisikkan lantaran aku tak mendengarnya. Beberapa di antara mereka juga menunjuk-tunjuk lembaran koran yang mereka pegang. Aku tak tahu apa yang tertulis di koran itu. Selain jarakku dengan mereka cukup jauh, juga lantaran selama ini aku memang tak pernah membaca koran.
“Maaf, kami harus menutup mata Anda,” kata salah seorang lelaki yang menggamitku setiba kami di mulut gang. “Kenapa?” “Tidak apa-apa. Anda tidak akan terluka.”
Hanya itu kalimat yang ia ucapkan. Sangat datar, tanpa intonasi. Aku hanya bisa menurut. Ketika dimasukkan ke dalam mobil pun aku hanya mengikut saja. Dengan mata tertutup aku tak tahu ke arah mana mobil melaju. Yang kudengar kadang-kadang ada suara sangat ramai seperti di sebuah pasar, kemudian lengang, lantas suara klakson mobil dan motor bersahutan dan teriakan beberapa orang seperti tengah berada di kemacetan, kemudian lengang lagi. Dan sepanjang perjalanan, di mobil yang kutumpangi benar-benar tak ada suara. Meski ada delapan orang di situ, tak satu pun yang saling bicara. Bahkan suara musik pun tak terdengar. Benar-benar sangat senyap.
Ketika mobil berhenti, aku digandeng turun. Ada empat anak tangga yang harus kutapaki sebelum akhirnya terdengar pintu dibuka. Setelah masuk ke ruangan, barulah penutup mataku dibuka. Sejenak aku harus tetap menutup kelopak mataku lebih dulu sebelum akhirnya bisa beradaptasi dengan cahaya yang ada di ruangan itu.
Cahaya yang sangat temaram.
Lalu serangkaian peristiwa rutin yang sama yang selalu terjadi setiap hari. Pada hari pertama setelah aku dikembalikan ke rumah, aku sempat menanyai ibu tentang gunjingan para tetangga. Mereka memang sangat kerap menggunjingkanku.
Sumber : oase.kompas.com
Aku selalu bisa bernafas lega jika sudah sampai di depan pintu rumah. Lebih terasa lega lagi jika sudah melihat putriku yang belum genap lima tahun usianya. Ia selalu saja bisa mengubah segala kelelahanku menjadi sebuah kekuatan baru.
Aku merasa sangat damai jika mendekapnya. Kekecewaan, luka, muak terhadap tujuh lelaki yang setiap hari selalu menjemputku seketika sirna, berganti menjadi sebuah ketabahan. Bocah perempuan itu telah mengirimkan kesabaran ke dalam jiwaku.
“Belum selesai pemeriksaannya?” ibu selalu terlihat cemas setiap kali aku tiba di rumah. “Saya tidak tahu, Bu.” “Berapa lama lagi mereka akan memperlakukanmu seperti itu?” Aku menggeleng. “Saya juga tidak tahu, Bu. Barangkali sampai mereka puas.” “Puas! Puas! Kepuasan seperti apa yang mereka inginkan?” ibu kandung suamiku itu selalu menggerutu setiap kali mengingat mereka.
Memang, selama ini – setidaknya juga hingga saat ini – mereka tak pernah menyakitiku. Ucapan mereka pun tak pernah melukaiku. Bahkan mereka selalu mengucapkan “maaf” setiap kali hendak menutup mataku. Namun tetap saja aku tak bisa menerima mereka – apalagi memperlakukan mereka – sebagai kawan. Sebab mereka memang bukan sahabatku. Bahkan mengenal mereka pun tidak.
Mereka hanya tujuh orang lelaki yang selalu datang ke rumahku setiap hari dan membawaku pergi tanpa pernah bisa kutolak. Mereka selalu membawaku ke ruangan itu, mengajak melihat peristiwa yang serupa, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah berbeda dan kemudian membawaku pulang tanpa mengurangi sedikit pun yang kubawa.
Pertama kali mereka datang, tiga belas hari yang lalu. Saat itu masih pagi. Aku baru saja selesai memandikan putriku dan sedang sibuk di dapur. Aku bahkan tak tahu kedatangan mereka. Ibu yang memberitahu ada orang yang mencariku. Ketika kutengok, ternyata ada tujuh orang lelaki yang berperawakan tinggi besar. Pakaian mereka sangat rapi. Salah seorang di antara mereka – yang kemudian selalu menjadi penanyaku – maju mendekat.
“Mohon ikut kami sekarang,” katanya tegas. “Ikut kemana? Ada apa ini?” aku tak mengerti. “Nanti kami jelaskan setibanya di tempat.” “Tapi saya mau belanja,” dalihku. “Maaf, ini tidak bisa ditunda. Kami minta Anda ikut kami sekarang juga.”
Lantas dua orang mendekat dan menggandengku. Ibu mertua yang sudah kuanggap layaknya ibu kandungku terlihat cemas. Ia segera mendekap putriku, cucunya. Aneh, putriku sama sekali tak menangis melihat ibunya dibawa orang-orang yang tak dikenal. Bahkan ia sempat mengangguk sambil tersenyum, seolah ingin memberikan tambahan kekuatan kepadaku, kepada ibunya.
Sepanjang perjalanan menuju ke mulut gang, para tetangga melihatku dengan wajah penuh tanda tanya. Beberapa di antaranya kulihat saling berbisik satu sama lain. Aku tak tahu apa yang mereka bisikkan lantaran aku tak mendengarnya. Beberapa di antara mereka juga menunjuk-tunjuk lembaran koran yang mereka pegang. Aku tak tahu apa yang tertulis di koran itu. Selain jarakku dengan mereka cukup jauh, juga lantaran selama ini aku memang tak pernah membaca koran.
“Maaf, kami harus menutup mata Anda,” kata salah seorang lelaki yang menggamitku setiba kami di mulut gang. “Kenapa?” “Tidak apa-apa. Anda tidak akan terluka.”
Hanya itu kalimat yang ia ucapkan. Sangat datar, tanpa intonasi. Aku hanya bisa menurut. Ketika dimasukkan ke dalam mobil pun aku hanya mengikut saja. Dengan mata tertutup aku tak tahu ke arah mana mobil melaju. Yang kudengar kadang-kadang ada suara sangat ramai seperti di sebuah pasar, kemudian lengang, lantas suara klakson mobil dan motor bersahutan dan teriakan beberapa orang seperti tengah berada di kemacetan, kemudian lengang lagi. Dan sepanjang perjalanan, di mobil yang kutumpangi benar-benar tak ada suara. Meski ada delapan orang di situ, tak satu pun yang saling bicara. Bahkan suara musik pun tak terdengar. Benar-benar sangat senyap.
Ketika mobil berhenti, aku digandeng turun. Ada empat anak tangga yang harus kutapaki sebelum akhirnya terdengar pintu dibuka. Setelah masuk ke ruangan, barulah penutup mataku dibuka. Sejenak aku harus tetap menutup kelopak mataku lebih dulu sebelum akhirnya bisa beradaptasi dengan cahaya yang ada di ruangan itu.
Cahaya yang sangat temaram.
Lalu serangkaian peristiwa rutin yang sama yang selalu terjadi setiap hari. Pada hari pertama setelah aku dikembalikan ke rumah, aku sempat menanyai ibu tentang gunjingan para tetangga. Mereka memang sangat kerap menggunjingkanku.
0 komentar:
Post a Comment